Popular Post

ICT PBA

Posted by : Binti Lutfi Selasa, 16 April 2013


DUA HATI
Dua bulan sudah Aisyah terbaring di atas tempat tidurnya. Tubuhnya kurus, matanya cekung, wajahnya pucat menampakkan gairah hidup yang mulai memudar.

Matahari pagi yang selalu menyapanya melalui celah jendela kamarnya tak mampu lagi memberi harapan tentang sebuah kehidupan. Tubuh yang dulu segar penuh harapan dan gairah hidup kini lemah tak berdaya, terbujur seperti mayat hidup. Senyum yang dulu selalu menawan setiap orang yang melihatnya kini tak lagi menghiasi wajah cantik itu. Sakit yang dideritanya kini telah merenggut seluruh pesona gadis itu.
“Anak saya sakit apa, Dokter?” tanya ibu Aisyah saat kali pertama dia dan suaminya membawa putrinya itu ke rumah sakit.
 “Begini Pak, Bu. Aisyah ini mengalami stress berat, pikirannya kacau, sehingga berdampak pada kesehatannya. Stress karena mungkin dia sedang menghadapi masalah yang sangat rumit. Tentunya, Bapak dan Ibu yang lebih tahu apa masalah Aisyah sekarang. Dan kini hatinya sedang kalut”, jawab sang dokter.
Dokter itu benar. Aisyah sakit setelah peristiwa malam itu. Peristiwa besar yang belum pernah terjadi dalam hidupnya. Perbedaan pendapat antara dia dan ayahnya malam itu telah membuatnya tak lagi bisa tersenyum seperti dulu. Membuatnya kini selalu menyendiri di dalam kamarnya, tak mau bicara dengan orang lain. Namun, yang membuatnya mampu bertahan hingga saat ini adalah karena hubungannya dengan Allah tak pernah mati. Walaupun dia kini berubah menjadi Aisyah yang sangat pendiam dan tak lagi seceria dulu, namun komunikasinya dengan Allah tetap lancar. Tidak ada tempat terbaik untuk mencurahkan semua keluh kesahnya kecuali Allah. Ya, hanya pada Allah lah dia mau berbicara dan menceritakan semua perasaannya lewat tahajud malamnya. Dalam dzikirnya dia selalu berharap agar setiap masalah yang menimpanya tidak membuatnya jauh dari-Nya. Tetapi akan menambah rasa cintanya pada Allah.
***
“Apa?? Tidak Ayah, Aisyah tidak mau dijodihkan dengan Rendi,” kataku sambil menahan air mata yang sudah tak sabar lagi untuk keluar.
“Tidak bisa, Aisyah. Kau tetap menikah dengan Rendi, atau kalau tidak jangan berharap ayah mau mengakuimu sebagai anak ayah,” kata ayahku mengancam sehingga membuatku terkejut. Akhirnya aku tak kuasa lagi menahan air mataku. Ibuku hanya bisa menatapku dengan tatapan kasihan. Mungkin ibu juga tidak berani melawan ayah yang keras kepala itu.
“Tapi kenapa harus Rendi, Ayah? Kenapa?” tanyaku tidak percaya pada keputusan ayah itu. “Ayah Rendi telah banyak membantu keluarga kita. Dia yang memberi pekerjaan pada ayah ketika usaha ayah bangkrut. Lagi pula mereka itu kaya, paling tidak keluarga kita akan semakin terpandang jika kau menikah dengan Rendi. Ayolah, Aisyah. Tolong ayah, ayah tidak berani menolak tawaran ayahnya Rendi itu.”
Aku tidak percaya kalau ayahku bisa melakukan hal itu. Memintaku menikah dengan Rendi untuk mengangkat derajad keluarga. Katanya juga ini untuk membalas kebaikan keluarga Rendi pada ayahku. Tapi kenapa harus menikah dengan Rendi? Apa tidak ada cara lain yang lebih baik? Oh, Ayah. Aku tidak pernah mencintai Rendi yang sok kaya itu. Cintaku hanya untuk Raihan. Hati ini telah terpaut pada lelaki sederhana itu, berbudi luhur, dan sangat menghormati perempuan. Ayah, tidakkah engkau tahu isi hatiku ini? Tidakkah ayah sadar putrimu ini telah menjatuhkan pilihannya pada laki-laki lain. Raihan, dialah laki-laki yang membuat putrimu ini menolak menikah denga Rendi. Oh, Raihan, tahukah kamu, aku di sini selalu merindukanmu, mengharap balasan cinta darimu, menapaki hidup di bawah naungan cinta-Nya. Ya, Allah, salahkah aku yang berharap seperti itu? Apa yang harus aku lakukan? Aku mencintai Raihan, dan ingin menjadikannya imam bagi hidupku, pelindung dan penjaga keimananku, serta pendamping hidupku dalam mengikuti sunnah Rasul-Mu. Tapi aku juga tidak mungkin melawan kehendak ayahku. Beliau sangat berarti bagiku. Kasih sayangnya begitu besar kepadaku. Merawatku sewaktu aku sakit, menemaniku bermain dan jalan-jalan setiap sore. Mencari nafkah agar aku tumbuh dengan baik. Membiayai sekolahku agar aku menjadi orang yang berguna dan mengangkat derajad keluarga. Apakah aku bisa membalas semua jasa ayah itu? Rasanya tidak mungkin kecuali aku patuh terhadap kata-katanya. Ya, Allah, tolong hamba-Mu yang lemah tak berdaya ini. Aku tidak ingin menjadi anak yang durhaka pada orang tua, tapi aku juga tidak mau dipaksa menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Dan mungkin juga Rendi tidak pernah mencintaiku. Aku tahu aku bukan tipenya. Tapi kenapa dia mau menerima perjodohan ini?
Wahai Dzat yang tak pernah berhenti meniupkan rasa cinta di hati setiap makhluk. Sesungguhnya Engkau lebih mengetahui apa yang sebenarnya  ada dalam lubuk hatiku. Aku sama sekali tidak berniat untuk tidak patuh pada perintah ayah. Tapi aku tidak bisa menikah dengan Rendi. Aku tak pernah mencintainya.  Hatiku kini sedang tertusuk panah cinta hamba-Mu yang baik hati itu. Sungguh, aku tak bisa membohongi hati sendiri. Engkau yang lebih tahu tentang apa yang ada dalam hati ini. Keindahan dan keluhuran budi pekertinya telah membuat hamba luluh padanya. Apakah yang sedang aku rasakan sekarang ini??? Tapi jika benar ini adalah cinta, jagalah hati ini agar tidak menjadikan cintaku padanya melebihi cintaku pada-Mu. Jadikanlah cinta ini cinta yang mampu meraih cinta suci-Mu. Cinta yang mampu membawaku menuju taman cinta-Mu.
Ya, sepertinya aku memang tengah mencintainya. Lelaki itu, dia yang telah membuat malam-malamku lebih terang, menghiasi langit malam bersama bintang-bintang, karena setiap aku memandang langit yang berbintang itu, tak luput pula dari pandanganku wajahnya yang menawan itu. Raihan, tahukah kau, aku di sini sangat merindukanmu? Mungkin kau tak ‘kan pernah tahu, karena aku tak ‘kan mengatakan perasaanku ini padamu. Karena bagiku wanita kurang baik jika mengatakn cinta pada seorang lelaki. Biarlah sang waktu yang akan menyampaikan rasa ini padamu, itupun kalau sang waktu berkenan. Tapi, aku bersyukur telah memiliki rasa cinta ini. Dan aku selalu berdo’a agar Allah mengabarkan rasa cintaku ini padamu, dan mengizinkanku hidup di sisismu, menjadi pendamping hidupmu. Maafkan aku karena telah berani mencintaimu. Tapi menurutku cinta tak mengenal berani atau takut, dia bisa menyerang siapa saja yang dia kehendaki. Sungguh, aku sangat mencintaimu, Raihan.
***
            Entah sejak kapan aku mulai mencintai Aisyah, aku tak tahu. Yang jelas, hati ini bergetar begitu hebat saat mata ini melihat sosoknya. Saat telinga ini mendengar suara merdunya. Dan saat bibir ini menyebut nama itu. Aisyah. Seorang bidadari yang dikirim Sang Pencipta unutuk memberi kesejukan di bumi. Memberi warna bagi kehidupan dunia.berwajah ayu alami khas gadis desa, bibir merah alami nan halus menawan, dalam balutan jilbab wajahnya bersinar tertimpa sinar rembulan, sejuk, dan memesona. Dan lesung pipit yang akan menyihir siapa saja yang melihatnya. Tutur kata yang lembut, pekerti yang luhur, membuat hati ini luluh, dingin bagai tersiram air es.
 “Aisyah akan dinikahkan dengan Rendi, lelaki pilihan ayahnya.” Begitu kalimat yang keluar dari bibir Reza yang sempat membuatku hampir pingsan, menyumbatku tenggorokanku hingga aku tak mampu berucap sepatah kata pun. Berita dari Reza itu sungguh membuatku seakan berhenti bernafas. Hatiku hancur bagai disayat sembilu. Aliran darahku seakan berhenti seketika. Aku merasakan langit telah menimpaku, dan bumi pun hendak menelanku.  Oh, Tuhan, inikah ujian cintaku untuk Aisyah? Jika benar, aku berharap bisa melaluinya dan membawa cintaku ini menuju cinta-Mu.
“Apakah Aisyah bersedia menikah dengan Rendi?” tanyaku. Reza diam, lalu berkata, “Raihan, aku dan Aisyah dudah berteman cukup lama. Aisyah sering menceritakan semua masalahnya padakku, termasuk masalah perjodohdan ini. Dia mengatakan kalau….”
Reza berhenti bicara. Aku menunggunya melanjutkan kalimatnya, pandanganku tak beralih kepada yamg lain. “Dia mebolak perjodohan ini.” Saat itu juga hatiku yang semula kering, kini sejuk lantaran berita itu. Butiran embun walaupum sedikit telah membasahi ruang hatiku. Ada sedikit harapan di sana. Ya, harapan untuk cintaku pada Aisyah.
“Apa alasannya menolak perjodohan itu?” tanyaku.
“Ayahnya menjodohkannya dengan Rendi karena ingin membalaas kebaikan keluarga Rendi pada ayah Aisyah. Aisyah tidak ingin dinikahkan karena dasar balas budi. Lagi pula dia tidak pernah mencintai Rendi, dia tidak ingin menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Cintanya hanya untuk seseorang yang kini mengisi hatinya. Cinta pertama dan terakhirnya, insya allah. Tahukah kau siapa laki-laki yang dicintai Aisyah?”
Aku menatap Reza dalam, berharap menemukan jawaban itu.
“Raihan, Aisyah mencintaimu dengan segenap jiwanya.”
Mendengar itu hatiku serasa sejuk sekali. Dingin dan sangat segar. Secercah harapan muncul di tengah ruang hati yang sempat berantakan. Seberkas sianr menerangi hatiku yang sempat gelap karena berita perjodohdan itu. Ternyata Aisyah mencintaiku. Terima kasih, ya Allah, Engkau memberiku jawaban atas cintaku ini. Aku mencintai Aisyah, dan aku harus memperjuangkan cintaku. Ya, Allah bantulah hamba-Mu ini yang ingin mendapatkan cinta seorang gadis. Persatukanlah kami dalam ikatan cinta suci-Mu.
***
            Aku berjalan melangkahkan kakiku menuju rumah Aisyah. Senja menemani langkahku dalam ikhtiarku menggapai cintaku. Ya, aku akan ke rumah Aisyah. Akan kukatakan pada ayah Aisyah kalau aku mencintai Aisyah. Dan Aisyah pun demikian, dia juga mencintaiku. Akan kukatakan pula bahwa cinta itu tidak bias dipakasakan. Aku haris berani karena Aisyah kini sedang sakit menungguku, dia telah mengorabnakan kebahagiaannya karenaku. Maka aku harus membuat Aisyah bias merasakan masa indahnya separti dulu lagi.
“Kau harus memperjuangkan cintamu, Raihan… Jangan biarkan cintamu berakhir dengan kesedihan. Raihan, Aisyah sedang menunggumu, dia berharap jawaban cinta darimu. Yakinlah, Allah akan mempersatukan cinta kalian.” Tiba-tiba saja aku teringat kalimat Reza itu, kalimat yang dia ucapkan setelah mengabariku berita perjodohan itu. Kalimat Reza itu telah menguatkan niatku unutj memperjuangkan cintaku pada Asiyah.
Aku terus melangkah. Namun tiba-tiba, dalam langkahku itu, bisikan aneh menbisikiku. Meniupkan keraguan dalam hatiku. Aku khawatir aku tidak mampu meluluhkan hati ayah Aisyah agar beliau merestui cinta kami, karena kata Reza, ayah Aisyah itu keras kepala, keputusannya sulit sekali dirubah. Aku ragu apakah ayah Aisyah akan menerima kedatanganku atau justru mengusirku karena menurutnya aku telah membuat anak gadisnya menderita. Aku menghambat langkah kakiku. Pikiranku semakin kacau, bagaimana kalau ayah Aisyah benar-benar menolak kedatanganku? Ya, Allah, mengapa aku jadi ragu begini?
Tidak!!! Aku tidak boleh ragu. Reza benar, aku harus memperjuangkan cintaku. Aisyah kini menderita karena cintaku, maka aku harus menyelamatkannya dari penderitaannya kini. Aku harus yakin Allah akan membantuku. Tidak akan kubiarkan bisikan keraguan itu menutupi hatiku. Aku kembali melangkahkan kakiku menuju rumah Aisyah. Tak terasa aku sudah sampai di depan halaman rumah Aisyah. Jantungku berdetak makin kencang, keringat dingin membasahi wajah dan tubuhku. Aku gugup setengah mati. Aku harus tetap rumah itu apapun yang terjadi. Aku harus memperjuangkan cintaku.
***
           
           

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © rifalutfiya - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -